Tes minat dan bakat bisa dilakukan untuk menilai potensi belajar dan keminatan para siswa agar lebih memahami potensinya dalam menentukan jurusan perkuliahan. Tetapi, hal itu bukan satu-satunya faktor untuk meneropong bakat dan minat siswa.
Demikian diungkapkan Winarno Surakhmad, Guru Gesar Pendidikan dan mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di acara X-cel Brain Xploration; Test Minat Bakat 5.000 Siswa, Kamis (29/10/2010), di Jakarta. Winarno mengatakan, tes semacam itu bukan satu-satunya jalan, karena masih ada beberapa banyak faktor lain seperti tes IQ, spiritual intelegence test, emotional intelegent test dan lain-lainnya.
"Jika sudah punya kesukaan terhadap suatu bidang itu sudah poin plus buat diri kita sendiri," lanjut Winarno.
Winarno bilang, zaman dahulu dikenal dengan pola tes IQ untuk menggambarkan potensi diri seorang anak. , Jika IQ mencapai di atas 140, lanjut dia, anak sudah dianggap pintar.
Namun, seiring perkembangan zaman pola itu sudah berubah. Tidak ada penelitian yang menggatakan jika IQ anak di atas 140 itu otomatis adalah anak pintar.
"Kemudian zaman sekarang sudah banyak vitamin yang menjamur, yang katanya bisa mencerdaskan siswanya, namun belum ada pembuktian soal itu," lanjut Winarno.
Pendekatan guru
Vitamin tidak bisa dijadikan patokan. Alangkah baiknya, lanjut Winarno, jika pola yang diterapkan adalah menjadikan seorang guru dekat atau mau melakukan pendekatan kepada siswanya. Pendekatan ini terutama dilakukan oleh pihak sekolah.
"Guru harus bisa memahami siswanya, jangan sebaliknya, siswa yang memahami gurunya," ucap Winarno.
Winarno menegaskan, tidak ada siswa yang bodoh. Yang betul, kata dia, siswa itu belum bertemu dengan guru yang pintar.
Dia menilai, masih terlalu dini tes bakat dan minat dijadikan pola pendekatan untuk menentukan jurusan yang akan diambil siswa untuk melanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi.
"Lihat dulu orientasi atau kecenderungan si anak waktu kecil," imbuh Penasihat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
JAKARTA, KOMPAS.com
Lihat dulu orientasi atau kecenderungan si anak waktu kecil.
-- Winarno Surakhmad
"Jika sudah punya kesukaan terhadap suatu bidang itu sudah poin plus buat diri kita sendiri," lanjut Winarno.
Winarno bilang, zaman dahulu dikenal dengan pola tes IQ untuk menggambarkan potensi diri seorang anak. , Jika IQ mencapai di atas 140, lanjut dia, anak sudah dianggap pintar.
Namun, seiring perkembangan zaman pola itu sudah berubah. Tidak ada penelitian yang menggatakan jika IQ anak di atas 140 itu otomatis adalah anak pintar.
"Kemudian zaman sekarang sudah banyak vitamin yang menjamur, yang katanya bisa mencerdaskan siswanya, namun belum ada pembuktian soal itu," lanjut Winarno.
Pendekatan guru
Vitamin tidak bisa dijadikan patokan. Alangkah baiknya, lanjut Winarno, jika pola yang diterapkan adalah menjadikan seorang guru dekat atau mau melakukan pendekatan kepada siswanya. Pendekatan ini terutama dilakukan oleh pihak sekolah.
"Guru harus bisa memahami siswanya, jangan sebaliknya, siswa yang memahami gurunya," ucap Winarno.
Winarno menegaskan, tidak ada siswa yang bodoh. Yang betul, kata dia, siswa itu belum bertemu dengan guru yang pintar.
Dia menilai, masih terlalu dini tes bakat dan minat dijadikan pola pendekatan untuk menentukan jurusan yang akan diambil siswa untuk melanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi.
"Lihat dulu orientasi atau kecenderungan si anak waktu kecil," imbuh Penasihat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
JAKARTA, KOMPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar